JANGAN DILIHAT SEREM

Jumat, 28 Januari 2011

Pelaku Pesugihan Bukit Bawang

Kisah ini dituturkan langsung oleh pelaku yang meminta nama aslinya dirahasiakan. Sebut saja namanya Tarno. Lelaki dengan seorang istri dan dua anak anak ini menetap di sebuah desa kecil yang cukup jauh di ujung Kabupaten Kubu Raya. Sebuah desa yang sepi dari hiruk pikuk, namun di tempat itulah Tarno dilahirkan dan dibesarkan sehingga dapat menghantarkannya menduduki posisi terhormat dengan menjadi seorang suami sekaligus ayah. Berikut kisah mistik yang dituturkan Tarno selengkapnya.
Meski hidup dalam keprihatinan, karena hanya mengandalkan penghasilan dari menangkap ikan, namun rumah tangga kami terbilang harmonis. Jika berselisih paham, kami selalu menempuh jalan musyawarah. Hal itu wajib kami terapkan untuk menutupi aib dan segala bentuk kekurangan yang ada dalam rumah tangga kami agar tidak terdengar oleh orang luar. Karena begitulah pesan dari para orang tua kami.

Hari demi hari aku habiskan hanya untuk bekerja dan bekerja. Hal itu aku lakukan, selain sadar akan tanggung jawabku sebagai kepala rumah tangga, juga ingin menggapai harapan dan cita cita. Yah, mungkin dengan begitu ekonomi keluargaku dapat berubah dan aku bisa menyisihkan sedikit uang penghasilanku itu untuk masa depan anak-anakku dikemudian hari. Namun semua itu menjadi sirna, tatkala aku mulai mengenal yang namanya judi.
Berawal ketika rumahku kedatangan seorang tamu laki-laki yang ternyata adalah Widianto sahabatku, yang juga berasal dari kampung di mana aku tinggal saat itu. Namun dia tak lagi tinggal di sana, karena beberapa tahun yang lalu, dua tahun kalau tidak salah, bersama keluarganya, Waidianto pindah ke kota kecamatan untuk merubah nasib. Memang benar, dilihat dari penampilannya saja, dia tampak berbeda dari sebelumnya, lebih rapi dan perlente. Terlebih usahanya yang mengalami banyak kemajuan. Salah satunya adalah lapak ikan atau kios tempat menjual ikan. Dan maksud kedatangannya saat itu adalah untuk mengajakku bekerja sama.
“Maksudmu?” Tanyaku tak mengerti.
“Jadi begini Tar, selama ini kan aku membeli ikan langsung dari para nelayan, yang kemudian ikan tersebut aku jual kembali di lapakku. Nah, aku juga mau kau melakukan hal yang sama, menangkap ikan dan menjualnya padaku. Memang harga yang aku tawarkan tidaklah besar, namun kau bisa rutin menjualnya padaku. Karena jika kau tetap bertahan seperti itu, kapan kau bisa maju,” ucap Widianto.
Aku pun tertegun sesaat. Tak dipungkiri hatiku berbunga-bunga mendengar tawaran dari sahabatku itu. Namun apa daya, aku tak sanggup menjawabnya karena aku sadar akan ketiadaanku. Yang dapat aku lakukan hanya tertunduk diam sambil menghela nafas panjang.
Melihat itu Widianto melempar simpul ke wajahku. Kemudian tangannya yang besar memegang pundakku dan meremas-remasnya.
“Aku tahu apa yang sedang kau pikirkan. Masalah kapal motorkan? Kau tak usah khawatir, nanti kau bisa gunakan kapal motorku untuk menangkap ikan,” ucap laki-laki berbadan besar itu.
Setelah mendapat persetujuan dari istriku, hari itu juga aku dan Widiantoberangkat ke kota kecamatan, dengan membawa segudang harapan untuk suatu perubahan. Dan sesampainya di sana, aku langsung menuju rumah Wahono yang terletak di belakang pasar untuk mempersiapkan segala perlengkapan, karena malam itu juga aku langsung memulai operasi.
Hari dami hari pun aku lalui, dan tanpa terasa sudah hampir tiga bulan aku bekerja pada Wahono. Meski sangat sibuk, aku tak pernah lupa akan janjiku pada istriku untuk pulang dua minggu sekali. Namun itu aku wujudkan hanya pada bulan pertama saja, selanjutnya aku tak pernah lagi menjenguknya. Bahkan tak pernah lagi memberikan hasil keringatku pada mereka.
Aku mulai terlena dan terpengaruh pada pola hidup bebas dan keras. Bersama kawan-kawan baruku, aku mulai suka mabuk-mabukan, berhubungan intim dengan wanita nakal dan aku mulai suka berjudi. Memang untuk kebiasaan yang satu ini, membuat aku keranjingan. Tak peduli waktu dan tempat, saat sibuk maupun santai, aku manfaatkan untuk bermain berjudi bersama kawan kawanku. Entah itu di kapal motor dengan menggelar tikar, atau di pelabuhan saat kapal motorku berlabuh.
Padahal jika mau dipikir, pendapatanku selama bekerja dengan Widianto sangat memuaskan. Berbeda jauh dengan pendapatanku ketika aku masih berjualan ikan di kampungku. Yah, setidaknya jika aku sisihkan dan kumpulkan, aku bisa membeli lapak sendiri. Namun apa daya, aku telah terjebak ke dalam harapan semu, yang tanpa aku sadari perlahan-lahan telah menggerogoti kenyataan yang sesungguhnya telah aku raih.
Tiba pada suatu hari, ketika itu aku kalah banyak. Tak ada lagi uang yang tersisa di dalam dompet maupun di dalam saku celana, semuanya ludes. Demi membalas kekecewaan itu, aku nekad mencari pinjaman pada kenalan-kenalanku. Karena aku pikir bulan depan aku dapat membayarnya dari hasil keringatku, dan aku akan selalu begitu setiap akan meminjam uang dan mengalami kekalahan di meja judi.
Namun apa lacur, saat hutang semakin menumpuk, Widianto mengetahui kegilaanku dan memutuskan hubungan kerjasamanya denganku. Sehingga hidupku pun terkatung-katung, bahkan terancam karena tak sanggup membayar hutang pada kenalan-kenalanku itu.
Di tengah kebingunganku karena terus-terusan dikejar hutang, aku pun memutuskan kembali ke kampung halamanku dan menjual rumahku beserta tanahnya yang merupakan warisan satu-satunya dari peninggalan orang tuaku. Sementara istri dan anak-anak kukembalikan pada orang tuanya. Selanjutnya aku pun kembali ke kota untuk melakukan kegilaan lagi. Setidaknya ada sisa uang hasil jual rumah dan tanah untuk modalku berjudi.
Namun apes, aku kalah lagi. Sehingga saat itu aku benar-benar nekad meminjam uang pada pak Suryo, seorang rentenir yang juga merangkap sebagai kepala preman yang ditakuti di kota kecamatan itu. Tak kepalang tanggung bunga yang ditawarkan sangat besar. Meskipun demikian aku tetap saja meminjamnya. Namun karena tak sanggup membayarnya, aku pun dikejar-kejar oleh orang suruhan pak Suryo. Bahkan sampai babak belur dihajar tukang pukulnya.
Stres dan bingung itu yang aku rasakan. Ingin rasanya pulang kampung, namun aku malu, malu pada istri dan kedua anakku, terlebih malu pada mertuaku. Di saat posisiku tengah terjepit itulah, tiba tiba datang Ruslan, teman yang aku kenal di meja judi. Melihat kondisiku seperti itu dia prihatin dan menyarankan supaya aku melakukan ritual minta kekayaan pada jin penunggu Bukit Bawang.
“Apa kau sudah gila Lan. Sebigung-bingungnya aku, tapi masih bisa berpikir waras,” ucapku.
“Itu hanya sebatas saran Tar. Karena aku sangat prihatin dengan kondisimu sekarang ini. Sekarang terserah kau, mau mengikuti saranku atau memilih dikejar-kejar tukang pukulnya pak Suryo,” Ruslan mencoba meyakinkanku.
Aku terdiam, namun otakku tak berhenti berpikir. Mungkin ada benarnya apa yang dikatakan oleh Ruslan. Tapi kedengarannya sangat sulit dipercaya.
“Kau tak usah khawatir Tar. Itu tergantung bagaimana kau meyakininya. Karena sudah ada beberapa orang yang berhasil nyegik di sana,” ujar Ruslan.
Setelah kemenyan sebagai alat ritual didapat, esok paginya kami pun meluncur ke kawasan Bukit Bawang yang ada di kabupaten tersebut. Satu hari kurang lebih jarak tempuhnya. Sesampainya di sana, kami pun langsung menemui pak Suyad, selaku juru kuncinya.
“Saya hanya bisa mengantarkan kamu saja. Perihal apa yang kamu lakukan nanti di atas sana, itu urusan kamu dengan penunggu gaibnya,” tutur pak Suyad.
Sebelum melangkah, terlebih dahulu dirinya memberitahukan padaku bagaimana cara menggelar ritualnya, yang ternyata sangat mudah. Cukup membakar kemenyan, sembari mengucapkan apa yang diinginkan, kemudian bersemedi selama tiga hari tiga malam.
“Memang kedengarannya sangat mudah, namun cobaannya cukup berat. Selama ini hanya ada dua orang saja yang mampu menjalani semedi sampai selesai,” terang laki-laki tua bertubuh kurus dan kecil itu.
Selanjutnya kami pun melangkah menuju bukit yang tak jauh di belakang rumah sang juru kunci. Kemudian mendakinya perlahan-lahan. Tak lama sampailah kami pada sebuah batu besar yang menghampar membentuk lempengan yang ukurannya sangat luas pula. Orang kampung menyebutnya batu bendera dan letaknya tepat di bagian sisi atas bukit menghadap ke perkampungan penduduk. Di tempat inilah nantinya aku akan melakukan semedi.
Menurut cerita yang berkembang di masyarakat, konon, pada batu yang berdiri tegak tak jauh dari batu bendera pernah ditemukan rambut dan kulit kepala manusia yang menempel, milik seorang tua yang puluhan tahun melakukan tapa brata. Dan usai mengantarkanku, Ruslan dan pak Suyad segera kembali ke bawah.
Hari beranjak gelap. Tinggal aku sendiri di tepi hutan itu. Selanjutnya lepas Maghrib aku segera memulai ritual yang kuawali dengan membakar kemenyan. Sambil duduk bersila, kuucapkan keinginanku pada penguasa gaib tempat itu, kemudian bersemedi.
Malam pertama aku sama sekali tak mengalami gangguan apa pun. Hanya suara-suara binatang malam yang terdengar dan itu kuanggap hal biasa. Namun pada malam kedua, hal-hal aneh mulai aku alami. Suara tawa wanita dari dalam hutan, suara langkah kaki yang tak henti-hentinya mengitariku, dan kejadian-kejadian lain yang menyeramkan.
Namun yang membuat aku sangat takut ketika sebuah benda jatuh di atas pangkuanku. Lebih terkejut lagi saat aku merabanya ternyata sebuah kepala. Tak ayal cepat-cepat benda tersebut kubuang. Tapi aneh, ketika tanganku kembali kuletakan di atas paha, kepala tadi sudah ada lagi di pangkuanku, setelah itu hilang entah kemana. Tak ada yang kupikirkan saat itu kecuali pergi meninggalkan tempat itu. Namun ketika teringat hutang-hutangku pada pak Suryo, rasa takut pun menjadi sirna. Sehingga yang ada hanya keinginan untuk tetap bertahan.
Sampailah aku pada malam terakhir, yang merupakan bagian puncak dari usahaku itu. Tak dapat kuprediksi apa yang akan terjadi. Mengingat pak Suyad sendiri tak menceritakan pada bagian itu. Dia hanya berpesan, jika di hadapanku muncul sesuatu, utarakan langsung semua permasalahanku, namun jangan pernah membuka mata, karena aku tak akan sanggup melihatnya.
Aku pun kembali membakar kemenyan kemudian menyimpan pembungkusnya yang terbuat dari kain ke dalam saku celana. Selanjutnya aku hening. Memang luar biasa, baru sejam aku bersemedi, tiba-tiba aku mendengar suara tawa wanita dari dalam hutan yang seperti terbang mendekatiku. Tidak satu, melainkan ramai dan semakin malam semakin ramai. Terdengar pula olehku raungan binatang-binatang aneh yang menyebabkan seluruh badanku berkeringat menahan takut yang mulai merasukiku. Tak lama aku merasa seekor ular besar melilit tubuhku dan suara desisannya sangat jelas terdengar di telingaku. Jujur, keinginan untuk lari dari tempat itu muncul kembali, namun hutang-hutangku membuat aku kembali bertahan.
Tak lama kemudian, dari dalam hutan sayup-sayup aku mendengar suara deru angin yang perlahan-lahan mendekat. Kemudian menghilang bersamaan dengan keanehan-keanehan tadi. Dan suara tawa pun menggelegar di depanku, berat dan menyeramkan. Tak ayal tubuhku menggigil dan keringat dingin pun bercucuran dari lubang pori.
Seperti yang dipesankan oleh pak Suyad, aku tak berani membuka mata. Langsung saja aku utarakan maksud dan tujuanku kepada jin penguasa Bukit Bawang yang tengah berada di hadapanku itu dengan terbata-bata. Tak banyak yang kupinta saat itu, hanya meminta nomor buntut, dan makhluk itu pun menyanggupinya dengan syarat setiap malam Jumat Kliwon aku harus menyembelih seekor ayam hitam di tempat aku bersemedi. Jika tidak, dia akan mengambil kembali kekayaanku dan aku pun menyanggupinya. Selanjutnya makhluk itu lenyap entah kemana.
Sesampainya di rumah Ruslan, aku segera mengeluarkan kain tempat aku membungkus kemenyan sebelumnya. Pada kain itu tertulis empat buah angka yang nantinya harus aku pasang pada bandar kode buntut.  Benar saja, percaya atau tidak, setelah aku pasang angka tersebut ternyata keluar. Karena aku pasang besar, tak kepalang tanggung uang yang kudapat pun berlimpah. Selain aku dapat melunasi hutang-hutangku plus bunganya pada pak Suryo, aku pun bisa membeli ruko. Di situlah aku tinggal dan membuka usaha jual beli emas.
Sayangnya semua yang ku miliki itu tak bertahan lama. Dikarenakan aku terlalu sibuk, sehingga lupa akan janjiku pada sang penguasa Bukit Bawang. Pada akhirnya kekayaan yang kudapat itu pun berangsur menyusut. Dan aku pun kembali pada keadaanku semula. Karena tak ada lagi yang dapat aku lakukan di kota itu, aku memutuskan untuk kembali ke kampung halamnku, dan memulai kehidupan dari nol lagi bersama istri dan kedua anakku. Aku sungguh-sungguh bertobat tidak akan melakukan hal itu lagi, semoga Allah mengampuni segala dosaku.



serem

Tragedi Pemuja Ilmu Ronggo Pecuk (oleh:Dawam)

Rumah besar di pinggir jalan raya itu, semua orang sudah tahu siapa pemiliknya. Orang-orang menyebut pemilik rumah lumayan bagus untuk ukuran desa itu mbah Dirgo. Entah itu sebutan atau nama asli sejak kecil. Yang jelas, mereka tahu bahwa mbah Dirgo adalah dukun kondang, yang pasiennya datang silih berganti, kebanyakan dari luar kota. Ada yang dari Blitar, Malang, Surabaya, Probolinggo, Trenggalek bahkan yang dari Jakarta dan luar Jawa ada juga yang datang minta bantuan mbah Dirgo. Kemarin ada orang bertamu ke rumah mbah Dirgo. Dua orang, satu pria dan satunya lagi wanita. Mengendarai mobil merk terkenal dan keluaran tahun paling anyar. Pada salah seorang tetangga mbah Dirgo, keduanya mengaku berasal dari Semarang, Jawa Tengah.
“Benar ini kediaman mbah Dirgo?” Tanya tamu tadi kepada Lukman, tetangga dekat mbah Dirgo.
“Mbah Dirgo dukun serba bisa itu kan?” Lukman balik bertanya, ingin kepastian.
“Betul.”
“Kalau itu yang sampeyan cari, rumah mbah Dirgo memang ini,” Lukman menandaskan. Lelaki dua orang anak yang sehari-harinya pedagang buah di pasar Kalitalun itu lantas mempersilahkan tamunya masuk, karena Lukman telah membantu mengetukkan pintu rumah mbah Dirgo.
“Terima kasih, pak,” ujar si tamu sambil memarkirkan mobilnya di halaman Barat rumah bercat serba kemerahan itu.
Seperti biasanya, mbah Dirgo tak terlalu lama melayani tamu dari Semarang tersebut. Ada banyak orang yang antri untuk ditangani oleh mbah Dirgo. Otomatis masing-masing tamu tak terpuji bila terlalu lama berada dalam kamar praktik mbah Dirgo yang konon sangat menyeramkan.
Menurut desas-desus yang merebak beberapa hari sesudahnya, tamu dari ibukota Jawa Tengah tempo hari itu minta jasa baik mbah Dirgo untuk melenyapkan saingan bisnisnya. Tangan mbah Dirgo yang terlalu gampang untuk membunuh dengan bantuan gaib ilmunya tersebut memang tempat sangat idel untuk keperluan itu. Buktinya, lawan bisnis Karsono, orang Semarang tadi, meninggal dunia dengan cara mengenaskan. Dulaman, musuh usaha Karsono, tertimpa batu sebesar kerbau manakala Dulaman sedang mengawasi kerja anak buahnya di sebuah pabrik pemecahan batu tak jauh dari rumahnya.
Sudah puluhan tahun mbah Dirgo memang terkenal sebagai dukun tenung. Profesi yang digelutinya secara turun temurun, paling tidak, almarhum mbah Dakip, orang tuanya dulu juga kondang sebagai dukun tenung.
Nasib baik masih selalu berada di belakang keluarganya, sebab setiap ada pihak yang mau menghabisi mbah Dirgo, dengan berbagai cara, tak ada yang pernah berhasil. Termasuk saat ramai-ramainya penculikan dukun tenung beberapa tahun silam, mbah Dirgo bisa selamat. Ilmu yang dimilikinya memang cukup ampuh dalam membentengi dirinya dari serangan orang yang tidak menyukai sepak terjangnya. Tak aneh bila lelaki berambut gondrong mirip mbah Surip itu semakin merasa tak tertandingi. Enath sudah berapa orang yang mati secara gaib lewat tangannya, hanya dirinya dan Allah saja yang mengetahui jumlah pastinya.
Sebagai seorang dukun senior, materi yang dikumpulkan dari uang kasih para pasiennya lumayan banyak. Rumahnya bagus, sawah, ladang ada di berbagai tempat. Di dalam daerah tempat tinggalnya mau pun di luar daerah. Jumlahnya bisa puluhan hektar plus tabungan di bank yang cukup menggiurkan jika ditunjukkan kepada orang lain.
Pekerjaan mbah Dirgo yang lain adalah tukang servis dan pendongkrak daya tarik bagi wanita-wanita nakal. Bila seorang wanita yang terjun di dunia kelam telah kurang diminati tamu langganan dan dia datang ke tempat praktek mbah Dirgo, dijamin beberapa hari kemudian wanita tadi pasti kebanjiran order. Tubuh wanita itu yang sebelumnya kusam dan tak mendatangkan selera, bisa kelihatan bahenol, sintal, cantik dan sangat mengundang birahi. Langganannya kembali datang, uang mengalir lagi. Aliran duit tersebut sebagian tentu mengarah ke rumah mbah Dirgo sebagai balas budi. Balas budi yang klimaksnya membikin kekayaan lelaki dengan dua orang isteri dan tiga orang anak tadi makin menggunung.
Untuk membuat makin tajam dan cespleng ilmunya, mbah Dirgo harus mengadakan ritual dan persembahan kepada gaib pembantunya. Diantara ritual tadi adalah meminum darah binatang, utamanya ayam berbulu hitam, berkulit legam. Orang sering menyebutnya dengan ayam cemani. Darah ayam model inilah yang pada saat-saat tertentu harus diminum olehnya. Semakin tak lalai melakukan ritual semakin ampuh dan berjaya ilmunya. Ini diyakini betul oleh mbah Dirgo selama ini.
Manusia, bagaimana juga, ada kalanya di atas, ada saatnya di bawah. Keinginan dan harapan bisa melaju terus tanpa batas, namun umur tidak akan bisa dibendung. Dari muda menjadi tua, tidak bisa dihindari. Demikian juga yang dialami mbah Dirgo. Tanpa disadari, dia sudah makin tak lincah gerak tangan, hentakan kaki dan desah nafasnya pun sudah tak berirama sempurna lagi.
“Bila aku berjalan agak jauh, rasanya seperti mau berhenti nafas ini,” keluh mbah Dirgo suatu ketika pada seorang isterinya.
“Wajar. Usia bapak kan sudah lebih tujuh puluh tahun,” sahut si isteri yang bernama Wakini itu.
“Aku berencana untuk tidak memforsir diri lagi dalam bekerja,” ujarnya dengan wajah kusut masai.
“Lalu, ilmu bapak mau dikemanakan?” Tanya Wakini sambil duduk berjajar dengan suaminya, di bawah rindangnya pohon trembesi tak jauh dari rumahnya.
“Aku telah berusaha untuk sedikit demi sedikit membuang pengaruh ilmu itu dengan mantera-mantera yang telah kuhafal.”
“Hasilnya bagaimana, pak?”
“Karena aku mempunyai banyak ilmu, perlu waktu lama untuk membuangnya satu persatu.”
“Tidak ada yang diwariskan pak?”
“Anak-anak kita tak ada yang berminat,” kata mbah Dirgo setengah mengeluh.
“Kepada orang lain, bagaimana pak?”
“Hingga saat ini belum pernah kulihat orang datang kemari untuk keperluan itu.”
“Lalu?”
“Ya. Sudah resiko kita, Wakini.” Mbah Dirgo memandang ke alam lepas. Alam yang di atas sana bergulung-gulung awan kelabu, bahkan berubah menghitam, pertanda hujan akan segera mengguyur mayapada.
Beberapa hari kemudian, mbah Dirgo jatuh sakit. Awalnya hanya pusing-pusing biasa. Realitanya rasa pusing ini semakin parah dan berganti dengan munculnya bintik-bintik merah hampir di sekujur tubuhnya. Berbagai macam cara ditempuh untuk menghalau penyakit aneh ini. Obat modern, jamu-jamu herbal dan banyak usaha lain yang ditempuh, belum juga mampu mendatangkan hasil memuaskan. Bahkan keadaan dirinya makin parah dengan tekanan darahnya yang terus melonjak tinggi.
Orang-orang yang sebelumnya berusaha membantu dengan caranya masing-masing, mulai menjauh. Mereka sudah angkat tangan. Tanpa ingin mendahului kehendak Yang Maha Kuasa, dalam hati kecil mereka sudah tertanam keyakinan bahwa mbah Dirgo tinggal menghitung hari saja sebagai penghuni bumi ini.
“Kasihan dia,” bisik seseorang yang sempat berkunjung ke rumah mbah Dirgo.
“Sejak beberapa bulan sebelumnya, kabarnya mbah Dirgo lupa mengadakan ritual minum darah ayam. Benar demikian, kang?”
“Aku kurang tahu masalah itu, Dik. Itu urusan mbah Dirgo dan keluarganya. Kita sebaiknya hanya ikut berdoa, kalau pun tidak sembuh, mudah-mudahan ada jalan lapang saja bagi perjalanan hidup mbah Dirgo selanjutnya.”
“Ya, kang. Tak baik terlalu jauh menggunjingkan kekurangan orang lain.”
“Ya.”
Saat dua orang ini hendak beranjak pulang, karena sudah lama keduanya di dalam ruangan tempat mbah Dirgo berbaring, terdengar ada rintihan keluar dari mulut dukun itu.
“Uhhhh!” Hanya itu. Kemudian, “Potongkan aku ayam dan ambil darahnya,” ujar mbah Dirgo memelas.
Seorang anaknya yang sedang menunggu di situ segera menuruti kehendak bapaknya. Seekor ayam cemani yang mungkin sudah lama dipersiapkan langsung disembelih dan darah segarnya diberikan kepada bapaknya. Mbah Dirgo segera meneguk darah yang diwadahi cangkir kecil berwarna merah muda.
Baru saja beberapa tetes darah masuk rongga mulut, mbah Dirgo menyemprotkan kembali darah itu keluar. Darah memuncrat, berhamburan ke segala arah, hingga membasahi baju dan wajah beberapa orang yang sedang membesuknya.
Sebelum orang-orang tahu apa yang musti dilakukannya, mbah Dirgo berteriak lantang dan heweeerrrrrr. Crot. Darah kental keluar dari rongga tenggorokannya. Tubuh dukun itu berputar-putar seperti ayam baru dipotong. Sebentar membujur ke arah Utara, sebentar berbalik ke Selatan. Saking menderitanya, tubuh itu seakan terlonjak-lonjak ke atas, setengah berputar dan breg, terjerembab ke dipan kayu berukir di bawahnya.
Darah kental terus termuntahkan seakan tanpa henti. Semprotan darah ada di mana-mana. Di ranjang, selimut, sekujur tubuh mbah Dirgo dan lantai di bawahnya. Ada berliter-liter darah, mungkin, sudah terkuras dari tubuh mbah Dirgo. Tak perlu hitungan tiga detik selanjutnya, tubuh itu telah memutih kehabisan darah. Mereka yang duduk di kanan kiri ranjang hanya melonggo keheranan. Mbah Dirgo telah tiada. Dia meninggal dalam kondisi yang tersiksa dan sangat mengenaskan.
Itulah sebuah kisah nyata yang terjadi di Boyolangu, Tulungagung, Jawa Timur. Kisah seorang pemilik ilmu sesat untuk menumpuk harta. Kisah ini bersumber dari seorang sahabat penulis yang menyaksikan langsung peristiwa mengenaskan ini. Semoga apa yang terjadi pada mbah Dirgo bisa menjadi peringatan bagi kita. Amin.
(Dimuat di Majalah Misteri #495 Edisi 20 Sept- 4 Okt 2010)

Dikencani Genderuwo Belang Penghuni Sumur

Sepak terjang jin yang suka mengumbar nafsu syahwat terhadap manusia sudah sering diungkap di media cetak maupun media elektronika. Dan hingga kini, kontroversi hubungan intim mahluk dari dua dunia masih terus bergulir. Ada yang menyatakan bisa, tapi, banyak pula yang menyatakan tidak mungkin! Sebagian sosok yang gemar menggeluti dunia supranatural berkomentar, “Mustahil jin akan mampu mengintimi atau diintimi oleh manusia saat dirinya masih berwujud jin. Oleh karena itu, orang bisa mengintimi atau diintimi jin saat dia telah maujud menjadi manusia.”
Terlepas dari kontroversi dan pendapat yang beredar di tengah-tengah masyarakat, pada penghujung tahun lalu, di  Di Desa Sleman, Kecamatan Sliyeg, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, pernah dihebohkan oleh suatu peristiwa kejahatan seksual yang dilakukan oleh jin kafir atau biasa dijuluki Genderuwo Belang terhadap seorang
ibu muda beranak dua.
Menurut tutur yang berkembang, di antara puluhan jenis jin, maka,
Genderuwo Belang tercatat yang paling gampang tergoda birahinya terhadap kaum wanita dari bangsa manusia. Jadi bukan hal yang  aneh jika jin kelas rendahan ini lebih memilih untuk tinggal di dalam sumur tua atau pohon kawak di sekitar pemukiman penduduk.
Dan kali ini, yang menjadi korbannya adalah yang bernama Ny. Wati, 28 tahun, sebut saja begitu. Perempuan bertubuh sintal ini adalah merupakan isteri dari Ngadino, 36 tahun, dan sekaligus ibu dari dua orang anak. Kurniasih, 10 tahun dan Rita, 2 tahun. Menurut penuturannya kepada Misteri, sebelum tinggal di Sleman, suami-istri yang sama-sama tamatan SLTA ini selama 15 tahun tinggal di Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) Gajah Mati, Desa Karak, Kecamatan Bungo, Kabupaten Bungo, Sumatera Selatan.
Ya … Wati yang lahir di Indramayu dan Ngadino asal Tegal, Jawa Tengah itu ikut orangtua masing-masing sebagai transmigran di Sumatera Selatan. Bak asam di gunung garam di laut bertemu dalam belanga, meski beda UPT, tetapi, dua anak muda itu saling jatuh cinta dan menikah di tanah perantauan. Di tengah-tengah kerimbunan lading cengkeh, cinta kasih keduanya membuahkan dua orang putri yang cantik-cantik dan lucu.
Dan ketika Rita berusia setahun, kakek Wati memintan dia segera  pulang ke Indramayu untuk mengelola pabrik beras pusaka peninggalan keluarga mereka secara turun temurun. Dan setelah mendapatkan izin dan restu ari kedua orang tua masing-masing, akhirnya, Wati bersama suami serta kedua anaknya pulang ke kampung halamannya. Indramayu, tepatnya di Sleman. Di tempat yang baru, Wati bersama keluarganya menempati rumah mungil yang bangunannya menyatu dengan huller. Sebutan untuk pabrik beras. Sebagai putri daerah, dalam waktu yang tak begitu lama, Wati pun langsung akrab dengan warga sekitarnya. Begitu juga Ngadino yang ramah dan rajin sholat berjamaah di mesjid. Bahkan, hanya dalam waktu beberapa bulan, Ngadino telah dipercaya untuk menjadi pengurus Jamiyah Al Waqiah guna mendampingi Ustadz Busro yang mulai uzur serta sudah terlalu lama menjadi pucuk pimpinan kelompok keagamaan di desa tersebut.
Secara kebetulan, sepanjang lima tahun teakhir, panen musim tanam rendeng dan musim tanam gadu tahun lalu adalah yang paling bagus hasilnya. Sudah barang tentu, huller yang dikelola Wati pun menjadi amat ramai. Sebab setiap kali memasuki penen raya, selain melayani masyarakat setempat, sejak dulu, huller tersebut juga melayani kontraktor pengadaan beras Bulog. Seperti biasa, setelah dikurangi bahan bakar minyak dan upah kuli, sesuai perjanjian, uang yang masuk pada tiap harinya langsung dibagi dua. 40 persen masuk dompet Wati, sementara yang 60 persen menjadi hak pemilik huller.
Sebagai lelaki yang ulet dan enggan berpangku tangan, untuk menambah penghasilan, Ngadino pun ngobyek gabah dari rumah ke rumah petani baik yang tinggal di satu desa setempat maupun ke luar wilayah Kecamatan. Sementara, huller dioperasikan oleh lima orang karyawannya. Seperti biasanya, gabah yang dibeli dari petani dan telah digiling menjadi beras lalu dibeli kontraktor pengadaan Bulog dengan selisih harga yang cukup besar.
Tak pelak, tiap harinya, Ngadino pun lebih banyak di luar rumah.   Wati yang mafhum terhadap keberhasilan dan keuletan suaminya benar-benar amat menikmati keadaan itu, sebagai wanita normal, dia merasa terpuaskan manakala perhiasan emas melilit leher jenjangnya serta melingkari lengan dan jari jemarinya.
“Pokoknya secara ekonomi, perubahannya amat drastic ketimbang
kami masih tinggal di Sumatera,” aku Wati kepada Misteri.
Siang itu hujan mengguyur sangat deras selang beberapa jam setelah keberangkatan Ngadino ke luar Kecamatan untuk ngobyek gabah. Para kuli pun dengan tergesa-gesa mengamankan jemuran gabah yang terhampar di halaman huller. Dan setelah gabah sudah berhasil ditutup terpal pastik, mereka pun bergerombol di dalam huller sambil minum kopi dan berbincang ngalor-ngidul.
Sementara itu dapur, Wati sedang sibuk menyiapkan makan siang buat mereka. Dan untuk menghindari kejenuhan, Wati sengaja mendengarkan radio FM yang diletakannya di atas meja dapur. Agaknya, lantunan lagu-lagu dangdut dan celoteh humor sang penyiar radio mampu meredam suara guyuran hujan di atas genteng.
Sambil bersenandung kecil mengikuti lagu dangdut yang tengah dilantunkan, jemari Wati pun dengan lincahnya menyiangi sayur dan daun polong. Di atas kompor, kini, minyak di dalam wajan mendesis-desis dan berubah riuh manakala sisiran daun polong dan bumbu dimasukkan ke dalamnya.
Seketika, bau gurih bumbu lodeh langsung memenuhi kamar dapur yang lumayan sempit itu, tak berapa lama kemudian, cincangan sayur dan wortel pun dimasukkan ke dalam bumbu ditambah segayung air dari gentong. Ketika dari corong radio 2 band, terdengar suara sang penyiar menyatakan akan menutup acara dangdut untuk diganti acara pop dengan penyiar yang lainnya, karena kurang suka lagu pop, Wati pun bermaksud menggeser ke frekuensi lain yang menyuguhkan acara
dangdut.
Bertepatan dengan memutar badan untuk menghampiri radionya, wanita berparas cantik itu seketika terlonjak kaget. Rupanya, tanpa disadari, sejak tadi dia sedang diperhatikan oleh suaminya, Ngadino yang bersandar pada kusen pintu dapur. Setelah sirna dari rasa terkejutnya, buru-buru, Wati melempar senyum ke arah suaminya sambil melontarkan pertanyaan ringan.
“Kok buru-buru pulang Kang? Gabahnya sudah dapat belum”, tanya Wati dengan manja.
“Cari gabahnya nanti saja. Aku sengaja pulang karena sudah tak
tahan,” jawab Ngadino sambil menyeringai penuh arti dan melangkah menghampiri isterinya.
Seketika, Wati membalas pelukan suaminya dengan gerakan manja dan telapak tangannya mendarat di pundak suaminya. Sejenak kening Wati berkerut. Dia benar-benar merasa aneh, sementara hujan di luar begitu lebat, tetapi, kenapa baju suaminya tidak basah. Kenakalan tangan Ngadino, seketika mampu menepiskan kecurigaan itu. Bahkan, dengan manja Wati pun bergayut di pundak Ngadino dan keduanya beriringan menuju kamar tidurnya.
Wati sempat melirik ke serambi rumahnya. Dia melihat Bik Inah, isteri salah seorang karyawannya sedang mengasuh Rita, sedang Kurniasih masih di sekolah.
Tidak seperti biasanya, kali ini, Wati benar-benar dibuat benar-benar terkapar oleh suaminya. Selain ganas, hampir satu jam suaminya baru tuntas. Bertepatan dengan usainya pertarungan birahi, sontak, hidung Wati mencium bau sangit hingga dengan bergegas ia  meninggalkan ranjangnya menuju dapur. Wati dibuat geram manakala menemukan sayur lodehnya nyaris menjadi arang dengan asap yang menggumpal. Sambil menggerutu, Wati terpaksa memasak lagi sayur lodehnya sebelum mandi besar.
Menjelang Maghrib, truck penuh karung gabah memasuki halaman huller. Dengan sigap, Ngadino mengatur kuli agar segera membongkar muatan, setelah itu, ia bergegas memasuki ruang tamu. Di serambi dia berpapasan dengan istrinya yang tampak cerah.
“Untung aku datang lebih pagi, telat sedikit saja pasti sudah disabet orang lain. Juragan itu butuh uang banyak untuk menerbangkan anaknya ke Korea sehingga menjual semua hasil panennya. Rezeki nomplok, Nok,” demikian celoteh Ngadino di depan istrinya.
Wati balas memuji keberhasilan suaminya dengan kening berkerut. Ya, dia pantas bingung mendengar celoteh suaminya. Bagaimana bisa ngomong pagi-pagi, sementara pukul 10 lewat suaminya baru berangkat lagi mencari obyekan gabah seusai berhubungan intim dengannya. Apakah salah mengucap ataukah sekadar melampiaskan rasa bangganya atas perolehan gabah yang memang sangat banyak.
Keanehan demi keanehan terus mengisi ruang pikiran Wati, terutama kebiasaan baru suaminya, berangkat pagi buta dan pulang lagi pukul 9 atau 10 hanya untuk berhubungan badan kemudian berangkat lagi ngobyek gabah ke luar Kecamatan. Malamnya, akibat serangan kantuk yang sangat sulit ditepiskan, membuat hasratnya musnah terhadap sentuhan jemari Ngadino serta bisikan lembut pada daun telinganya.
Beruntung, Ngadino mau berlapang dada atas penolakan Wati yang memang tampakamat mengantuk di balik selimutnya.
Seperti pagi-pagi yang lalu, sebelum memulai aktivitas di dapur, Wati terlebih dulu mencuci beras di sumur yang terletak di belakang huller. Walau sumur tua, namun airnya jarang kering serta sejernih air ledeng.
Semasa masih ingusan, Wati sudah biasa menimba air untuk mandi di sana. Kali ini, sambil menurunkan ember plastik, sepasang mata Wati
terus mengikutinya hingga pantat ember menyentuh permukaan air sumur. Saat itu, ada getaran kuat dan sangat ganjil merasuki bathinnya. Ya … getaran hasrat wanita dewasa terhadap lelaki yang amat dicintainya. Begitupun ketika menenteng bakul berisi cucian beras di pinggang kanan dan tangan kiri menenteng ember berisi air, Wati merasa seolah ada sepasang mata menatap punggungnya. Didorong penasaran, dia langsung  menoleh ke belakang. Tak ada yang berubah, di sana hanya ada sumur tua. Tak ada siapa pun selain kesunyian yang mistis.
Keanehan lainnya, hari-hari terakhir ini entah kenapa Wati begitu gampang terbuai oleh lamunan. Pikirannya kosong. Hanya dipenuhi oleh hayalan masa lampau yang menari-nari dengan ritmis lembut dalam ruang jiwanya. Selain gampang terbuai lamunan, emosinya pun sangat mudah terpancing. Terkadang spontan marah tanpa sebab dengan sasaran siapa saja yang ada di dekatnya. Tidak terkecuali Kurniasih bahkan si bungsu yang masih polos.
Lamunannya buyar akibat suara langkah kaki di belakangnya. Buru-buru dia menoleh ke belakang. Dan beberapa langkah di belakangnya berdiri Inah dengan tatapan ganjil. Inah pun menyapa majikannya dengan nada iba dan penuh kasih.
“Kalau boleh, biar saya saja yang menyiapkan makan siang. Bu Wati kelihatan pucat sekali, jangan-jangan Ibu sedang sakit,” kata Inah.
“Tidak perlu repot, Rita mana?” Ujar Wati sambil bertanya.
“Lagi ditemani Kang Trisno di huller,” jawab Inah tetap sambil menunduk.
“Jangan ganggu suamimu, bukankah dia sedang bekerja. Sudah
Sana,” bentak Wati.
Inah tertegun beberapa saat. Baru kali ini dia melihat majikannya beraku sekasar itu. Tanpa disuruh duakali, Inah langsung meninggalkan dapur menuju huller. Belum lagi kejengkelan itu hilang, kembali Wati dikejutkan suara langkah kaki di belakangnya. Kali ini dia sudah tidak mau kompromi lagi  terhadap Inah. Sambil memutar badan dia bersiap-siap membentak. Tapi apa daya, suaranya tersangkut di kerongkongan.
Beberapa langkah di depannya berdiri Ngadino dengan tatapan penuh hasrat. Dan kali ini, untuk pertamakalinya dia menegur suaminya yang doyan menyusup ke dapur saat dirinya mulai memasak. Wati tidak mendapat jawaban selain rengkuhan hangat dari Ngadino. Jika sudah direngkuh seperti itu, maka, hasrat kewanitaannya langsung terpancing. Hingga tanpa banyak pertanyaan lagi, Wati pun langsung mengikuti langkah suaminya menuju peraduan.
Seperti biasa, cumbuan yang panas pun terjadi. Kini, pakaian keduanya mulai tercecer di lantai. Dan di balik selimut, mulut dan tangan keduanya sibuk dengan aktivitas birahi yang bergelora. Pada detik-detik selanjutnya, yang terdengar hanyalah erangan dan rintihan dari celah bibir Wati mengimbangi orang yang dicintainya tengah mengayuh kenikmatan.
Setengah jam berlalu begitu cepat, dan kain selimut sudah melorot ke lantai. Kini keduanya mengayuh kenikmatan tanpa selembar penutup pun. Sebelum puncak birahi berhasil dicapai, daun pintu didobrak dari luar disusul cairan bening yang mengguyur punggung Ngadino dan sebagian membasahi dada Wati.
Hanya dalam hitungan detik setelah diguyur air bening, sontak, Wati merasakan ketakutan luar biasa. Betapa tidak, sosok laki-laki yang ada di atas tubuhnya menggeram sangar dan tubuhnya bertambah berat menindihnya. Sebelum Wati sadar dengan apa yang telah terjadi, lengannya dibetot sangat kuat hingga tubuhnya terseret ke atas lantai.
Secara reflek, Wati buru-buru menyambar kain selimut untuk menutupi tubuh polosnya.  Seketika Ngadino merengkuh tubuh Wati dengan penuh kasih. Sementara, di sampingnya tampak Ustadz Busro yang terus menerus membacakan ayat suci dengan ritme sangat cepat.
Sementara di atas ranjang yang ada bukan Ngadino, melainkan sosok bugil sangat mengerikan. Tubuhnya begitu besar nyaris memenuhi permukaan ranjang. Dan yang paling mengerikan adalah bentuk wajahnya. Wajah dan tubuhnya berkulit Zebra, berambut gimbal juga menguarkan bau apek yang teramat menyengat dan memenuhi ruang kamar tidur itu.
Makhluk menyeramkan itu menggerung-gerung histeris, karena kesakitan yang tak teranggungkan. Pada bagian punggung yang terkena siraman air mengepulkan asap bak air raksa yang melelehkan logam. Dan pelan-pelan makhluk itu duduk di atas ranjang dengan kepala nyaris menyentuh penyangga kelambu.
“Tidak kusangka, engkau ternyata Genderuwo Belang terkutuk!” Bentak Ustadz Busro.
“Hrrrhh … ampoooun … ampouun menusaaa. Hanaaas …
hanaaasss!”
“Baik, engkau saya ampuni. Tapi, sebelum saya lepas, ada syarat yang harus kamu kerjakan. Sanggup?!” Tanya Ustadz Busro.
“Hatakan menusa. apa syaratnya?”
“Pertama, bersihkan segala kotoranmu yang ada pada Bu Wati. Kedua, tinggalkan sumur tua itu dan jangan ulangi perbuatan bejatmu kepada wanita manapun dari bangsa manusia. Lakukan syarat itu, lekas!” Bentak Ustadz Busro.
Makhluk itu lenyap dalam sekejap, seiring Wati seolah merasakan ada sengatan listrik yang keluar dari alat vitalnya. Akibatnya, Wati pun terkulai tak sadarkan diri dalam pelukan suaminya. Ngadino.
Wati tal sadarkan diri nyaris seharian dan baru siuman bertepatan dengan lantunan adzan Maghrib dari corong mesjid.
Semoga pembaca sekalian dapat mengambil hikmah dari cerita ini, betapa, iblis tak jemu-jemu menggoda manusia sampai akhir dunia tiba.
(Dimuat di Majalah Misteri #429 Edisi 20 OKtober- 4 Nop 2007 )

Rabu, 26 Januari 2011

12 Daftar Hantu Paling Seram Di Indonesia

Di indonesia terdapat banyak mitos tentang hantu-2, masing-2 daerah mempunyai ciri khas tentang hantu di daerahnya, berikut 12 daftar hantu paling seram di Indonesia, hantu yang paling ditakuti oleh sebagian besar masyarakat indonesia.

12 Daftar Hantu Paling Seram Di Indonesia

1. Kuntilanak

Sosok kuntilanak di gambarkan dalam bentuk “wanita cantik”. Kuntilanak di gambarkan senang meneror penduduk kampung untuk menuntut balas. Kuntilanak sewaktu muncul selalu di iringi harum bunga kamboja. Konon laki-2 yang gak berhati-hati bisa dibunuh sesudah kuntilanak berubah wujud menjadi penghisap darah. Kuntilanak juga senang menyantap bayi dan melukai wanita hamil.
Dalam cerita seram dan film horor di televisi Malaysia, kuntilanak di gambarkan membunuh mangsa dengan cara menghisap darah di bagian tengkuk, seperti vampir. Agak berbeda dengan gambaran menurut tradisi Melayu, kuntilanak menurut tradisi Sunda tidak memiliki lubang di punggung dan hanya mengganggu dengan penampakan saja.
Jenis yang memiliki lubang di punggung sebagaimana deskripsi di atas disebut “sundel bolong”. Kuntilanak konon juga menyukai pohon tertentu sebagai tempat “bersemayam”.



2. Sundel Bolong

Sundel bolong dalam mitos hantu Indonesia di gambarkan dengan wanita berambut panjang dan bergaun panjang warna putih. Di gambarkan pula terdapat bentukan bolong di bagian punggung yang sedikit tertutup rambut panjangnya sehingga organ-2 tubuh bagian perut terlihat.
Dimitoskan hantu sundel bolong mati karena diperkosa dan melahirkan anaknya dari dalam kubur. Biasanya sundel bolong juga diceritakan suka mengambil bayi-bayi yang baru saja dilahirkan.




3. Tuyul

Tuyul [bahasa Jawa: thuyul] dalam mitologi Nusantara, terutama di Pulau Jawa, adalah makhluk halus berwujud anak kecil atau orang kerdil dengan kepala gundul. Penggambaran lainnya yang gak di sepakati semua orang adalah kulit berwarna keperakan, bersifat sosial [dalam pengertian memiliki masyarakat dan pemimpin], serta bersuara seperti anak ayam.
Tuyul dapat di pekerjakan oleh seorang majikan manusia untuk alasan tertentu, terutama mencuri [uang]. Untuk menangkal tuyul, orang memasang yuyu di sejumlah sudut rumah karena tuyul dipercaya menyukai yuyu sehingga ia lupa akan tugas yang dibebankan pemiliknya.
Kejadian tuyul dipercaya berasal dari janin orang yang keguguran atau bayi yang mati ketika lahir. Karena berasal dari bayi, karakter tuyul juga seperti anak-2 : gemar bermain [seperti laporan orang melihat sejumlah tuyul bermain pada tengah malam, dsb.].




4. pocongkkkkk

Penggambaran pocongkkkkkkkkk bervariasi. Dikatakan, pocongkkkkkkkkk memiliki wajah berwarnah hijau dengan mata yang kosong. Penggambaran lain menyatakan, pocongkkkkkkkkkkkkkkk berwajah rata dan memiliki lubang mata berongga atau tertutup kapas dengan wajah putih pucat.
Mereka yang percaya akan adanya hantu ini beranggapan, pocongkkkkkkkkk merupakan bentuk protes dari si mati yang terlupa di buka ikatan kafannya sebelum kuburnya ditutup. Meskipun pocongkkkkkkkkk dalam film sering digambarkan bergerak melompat-lompat, mitos tentang pocongkkkkkkkkk malah menyatakan pocongkkkkkkkkk bergerak melayang-layang. Hal ini bisa dimaklumi, sebab di film-2 pemeran pocongkkkkkkkkk gak bisa menggerakkan kakinya sehingga berjalannya harus melompat-lompat.
Kepercayaan akan adanya hantu pocongkkkkkkkkkk hanya berkembang di Indonesia, terutama di Jawa dan Sumatera. Walaupun penggambarannya mengikuti tradisi muslim, umat beragama lain pun ternyata dapat mengakui eksistensi hantu ini.



5. Genderuwo

Genderuwo adalah sejenis bangsa jin atau makhluk halus yang berwujud manusia mirip kera yang bertubuh besar dan kekar dengan warna kulit hitam kemerahan, tubuhnya ditutupi rambut lebat yang tumbuh di sekujur tubuh. Genderuwo terutama dikenal dalam masyarakat di Pulau Jawa [orang Sunda menyebutnya “gandaruwo” dan orang Jawa menyebutnya “gendruwo”].
Habitat hunian kegemarannya adalah batu berair, bangunan tua, pohon besar teduh atau sudut-sudut yang lembab sepi dan gelap. Pusat domisili makhluk ini dipercaya berada di “Hutan Jati Donoloyo”, kecamatan Sloghimo, sekitar 60 km di sebelah timur Wonogiri, dan di wilayah Lemah Putih, Purwosari, Girimulyo, Kulon Progo sekitar 60 km ke barat Yogyakarta.




6. Wewe Gombel

Wewe Gombel adalah sebuah istilah dalam tradisi Jawa yang berarti roh jahat atau hantu yang suka mencuri anak-anak, tapi tidak mencelakainya. Konon anak yang dicuri biasanya anak-2 yang ditelantarkan dan di abaikan oleh orang tuanya.
Wewe Gombel biasanya akan menakut-nakuti orang tua si anak atas sikap dan perlakuannya kepada anaknya sampai mereka sadar. bila mereka telah sadar, Wewe Gombel akan mengembalikan anaknya.
Menurut cerita, Wewe Gombel adalah roh dari “seorang wanita yang meninggal bunuh diri lantaran dikejar masyarakat karena telah membunuh suaminya”. Peristiwa itu terjadi setelah suami dari wanita itu berselingkuh dengan wanita lain. Sang suami melakukan hal itu karena istrinya tak bisa memberikan anak yang sangat diharapkannya. Akhirnya ia dijauhi dan dibenci suaminya lalu dikucilkan sampai menjadi gila dan gembel.
Disebut Wewe gombel karena kejadian in terjadi di daerah Gombel, Semarang. Jika kita berkendaraan dari arah jatingaleh ke arah banyumanik, maka akan terlihat bekas iklan bir bintang. Di situlah konon letak lokasi wewe gombel berada.
Beberapa orang menyebutkan bahwa lokasi tersebut adalah lokasi kerajaan hantu. Menurut cerita itu pula, hal itu yang menyebabkan sebuah hotel yang terletak di dalam lokasi bukit gombel menjadi bangkrut.




7. Leak

Dalam mitologi Bali, Leak adalah penyihir jahat. Le artinya penyihir dan ak artinya jahat. Leak hanya bisa dilihat di malam hari oleh para dukun pemburu leak.
Di siang hari ia tampak seperti manusia biasa, sedangkan pada malam hari ia berada di kuburan untuk mencari organ-o2 dalam tubuh manusia yang digunakannya untuk membuat ramuan sihir. Ramuan sihir itu dapat mengubah bentuk leak menjadi seekor harimau, kera, babi atau menjadi seperti Rangda. Bila perlu ia juga dapat mengambil organ dari orang hidup.




8. Rangda

Rangda adalah ratu dari para leak dalam mitologi Bali. Makhluk yang menakutkan ini diceritakan sering menculik dan memakan anak kecil serta memimpin pasukan nenek sihir jahat melawan Barong, yang merupakan simbol kekuatan baik. Di ceritakan bahwa kemungkinan besar Rangda berasal dari “ratu Manendradatta” yang hidup di pulau Jawa pada abad yang ke-11. Ia diasingkan oleh “raja Dharmodayana” karena dituduh melakukan perbuatan sihir terhadap permaisuri kedua raja tersebut.
Menurut legenda ia membalas dendam dengan membunuh setengah kerajaan tersebut, yang kemudian menjadi miliknya serta milik putra Dharmodayana, Erlangga. Kemudian ia digantikan oleh seseorang yang bijak. Nama Rangda berarti juga janda. Rangda sangatlah penting bagi mitologi Bali.
Pertempurannya melawan Barong atau melawan Erlangga sering ditampilkan dalam tari-tarian. Tari ini sangatlah populer dan merupakan warisan penting dalam tradisi Bali. Rangda digambarkan sebagai seorang wanita dengan rambut panjang yang acak-acakan serta memiliki kuku panjang. Wajahnya menakutkan dan memiliki gigi yang tajam.



9. Kuyang

Kuyang merupakan siluman berwujud kepala manusia dengan isi tubuh yang menempel tanpa kulit dan anggota badan yang dapat terbang untuk mencari darah bayi. Makhluk ini dikenal masyarakat di Kalimantan. Kuyang sebenarnya adalah manusia [wanita] yang menuntut ajaran ilmu hitam untuk mencapai kehidupan abadi.
Pada siang hari, seorang kuyang akan menempuh hidup sehari-hari sebagaimana orang biasa, namun biasanya ia mengenakan pakaian jubah. Pada malam hari kuyang akan terbang untuk mencari darah bayi atau darah persalinan untuk di hisap sebagai sarana menambah kekuatan ilmunya.
Orang yang melihat kuyang terbang biasanya melihatnya seperti burung besar, Untuk menghadapinya korban perlu menggunakan sapu ijuk atau memukulkan perabot rumah tangga seperti panci atau wajan.



10. Palasik

Palasik menurut cerita, legenda atau kepercayaan orang Minangkabau adalah sejenis makhluk gaib. Menurut kepercayaan Minangkabau palasik bukanlah hantu tetapi manusia yang memiliki ilmu hitam tingkat tinggi.
Palasik sangat ditakuti oleh ibu-2 di di Minangkabau yang memiliki balita, karena makanan palasik adalah anak bayi/balita, baik yang masih dalam kandungan ataupun yang sudah mati [dikubur], tergantung dari jenis palasik tersebut.
Ilmu palasik dipercayai sifatnya turun-temurun. Apabila orang tuanya adalah seorang palasik maka anaknya pun akan jadi palasik.



11. Orang Bunian

Orang bunian adalah sejenis makhluk halus yang dikenal di wilayah Minangkabau, Sumatera Barat. Bentuknya menyerupai manusia, tinggal di tempat-tempat sepi, di rumah-rumah kosong yang telah ditinggal penghuninya.
Istilah ini dikenal di wilayah Istilah orang bunian juga terkadang dikaitkan dengan istilah dewa di Minangkabau, pengertian dewa dalam hal ini sedikit berbeda dengan pengertian dewa dalam agama-2 Hindu maupun Buddha. Dewa dalam istilah Minangkabau berarti sebangsa makhluk halus yang tinggal di hutan atau di rimba, di pinggir bukit, di dekat pekuburan.
Biasanya bila hari menjelang maghrib di pinggir bukit akan tercium sebuah aroma yang biasa dikenal dengan nama masakan dewa atau samba dewa. aromanya mirip bau kentang goreng. Hal ini boleh ditanyakan langsung kepada masyarakat Minangkaba
Pada umumnya palasik bekerja dengan melepaskan kepalanya. Ada yang badannya berjalan mencari makan dan ada pula yang kepalanya melayang-2 mencari makan.



12.Jengglot


Jenglot mulai terkenal di Indonesia sejak taun 1997, menurut Abas Soegi0no jenglot ini ditemuin setelah sejumlah paranormal ngelakuin tirakat di wlingi, jawa timur.
Ga cuma lewat tirakat lo Readers, kadang jenglot ditemuin secara ga sengaja, bisa di dalem tanah, di dalem pohon, di atap rumah malah mungkin juga di got..
Secara umum bentuk jenglot itu kaya orang, tapi kecil kaya boneka, kumel, gondrong, giginya panjang dan yang bikin jijay adalah, dia makannya darah! Ga heran bagi orang luar, jenglot itu dianggep sejenis vampir.. Meskipun lebih mirip mumi, tapi buat sebagian orang jenglot itu dianggep makhluk idup..
Biar gitu juga tapi jenglot punya keistimewaan, konon dia bisa bawa rejeki.
Iya lah, kalo nemu jenglot kan orang cenderung mau pamerin, tiap ada yang mau liat kudu bayar, terang aja dapet rejeki..
Dia juga bisa ngelindungin orang dari segala bahaya, memperlancar usaha dan juga bisa ngentengin jodoh, ada yang mau coba cari ga Readers?

Aku takut pada cermin.

Terutama pada setiap bayangan orang-orang yang terpantul di dalamnya…

Jika ada satu hal yang dapat kuenyahkan dari dunia ini, itu adalah pantulan bayangan. Entah itu di cermin, kaca mobil, ataupun benda-benda mengkilap lainnya yang dapat memantulkan bayangan setiap objek di dalamnya dengan cukup jelas.

Bayangan-bayangan tersebut sungguh membuatku gila! Tak jarang sumsumku berdesir setiap saat secara kebetulan aku melewati objek mengkilat. Terutama jika aku melihat bayangan orang lain selain diriku sendiri di dalam cermin tersebut. Mungkin hal ini dianggap aneh bagi kebanyakan orang. Tetapi apa yang terjadi tiga tahun yang lalu benar-benar telah mengubah hidupku sepenuhnya.

Waktu itu aku baru saja merayakan ulang tahunku yang kelima belas. Siang itu aku menemani salah seorang bibiku ke salon langganannya. Sebenarnya aku agak malas menemani bibiku yang satu itu. karena jika ia sudah keasyikan mengobrol, gempa bumi yang super dahsyat atau hujan batu pun tak akan menghentikan ocehannya yang super lengkap, dari isu seputar kenaikan BBM, gosip artis, sampai si Chiko yang suka menguber-uber anjing betina tetangga sebelah kami. Pokoknya ampun-ampunan deh bibiku yang satu itu.

Maka dengan berbekal komik, sebatang coklat, dan MP4 yang baru kubeli dua hari sebelumnya, akhirnya dengan setengah hati aku pun menyetujui untuk ikut bibiku ke salon. Nggak apa-apalah, pikirku, siapa tahu bibiku bersedia mentraktirku pizza sepulang kami dari salon nanti, sebagai upahku menemaninya hari itu.

Akhirnya setelah terkantuk-kantuk di dalam tuk-tuk (sejenis kendaraan umum di Thailand) selama beberapa saat, kami tiba juga di gedung bercat merah muda itu. Bangunan berarsitektur Portugis itu masih kelihatan seindah dan semenarik dua tahun sebelumnya, ketika terakhir kali aku menemani ibu dan bibiku ke tempat tersebut. Dengan dinding luar berbalutkan relief bunga teratai ungu dan merah, salon itu berdiri megah di tengah himpitan gedung-gedung perkantoran lain yang menjulang tinggi di sekitarnya.

Salon itu tidak sepenuh biasanya. Maklumlah. Mungkin karena hari itu hari Rabu pagi. Dari kaca jendela luar hanya terlihat beberapa orang remaja putri di dalam dan seroang nyonya muda yang sedang di-crembath. Syukurlah, kataku dalam hati. Moga-moga bibiku cepat selesai. Aku sudah tak sabar ingin menikmati pizza kegemaranku!

Begitu kami melangkah masuk, aroma wewangian khas Thailand segera menyergap kehadiran kami berdua. dan seorang wanita muda berbusana daerah menyambut kami dengan senyum ramahnya. Ia dengan sigap mengantarkan bibiku ke ruang sebelah dalam sementara aku segera memarkirkan pantatku di kursi empuk di sudut ruangan dan mengeluarkan MP4 biru mudaku. Detik berikutnya aku telah asyik terlarut dalam komikku sambil mengunyah coklat dan mendengarkan lagu.

Waktu berlalu dengan cepat. Kira-kira satu jam kemudian bibiku sudah hampir selesai. Ia sedang mematut-matut dirinya di depan cermin. Aku bangkit dari kursi dan menghampirinya. Sekilas aku melirik ke arah cermin. Pada saat itulah aku melihat sesuatu yang aneh.

Wajah penata rambut yang pada saat itu sedang menyemprotkan hair spray pada rambut bibiku terlihat menyeramkan. Pelipis sebelah kirinya terlihat mengucurkan darah dan membasahi kemeja putihnya. Aku tersentak kaget! Segera aku memalingkan wajah dari cermin dan memperhatikan sang penata rambut yang berdiri tepat di samping kananku. Tapi ia terlihat baik-baik saja! Tak ada luka sedikit pun pada wajahnya dan kemejanya putih bersih.

Aku mulai kebingungan. Aku kembali memandang cermin. Dan apa yang kulihat tetap sama dengan apa yang kulihat pertama kali. Wajah dan baju yang merah oleh ceceran darah yang mengucur semakin deras!

Aku tak tahan lagi! Aku segera mengubah posisi berdiriku agar aku tak dapat melihat bayangannya di cermin. Semua ini benar-benar membuatku gila! Apakah ada yang salah dengan penglihatanku? Ataukah ini hanya imaginasiku belaka?

Tak lama kemudian bibiku selesai dan kamipun pulang ke rumah melalui rute yang sama. Sepanjang perjalanan aku mengunci bibirku rapat-rapat. Pikiranku benar-benar kalut! Aku masih bingung dengan apa yang baru saja kualami.

Selang beberapa minggu kemudian, bibiku kembali ke salon itu untuk creambath. Pada saat itulah kami mendengar kabar bahwa salah seorang penata rambut salon tersebut telah meninggal dunia dua minggu sebelumnya karena kecelakaan mobil dan ia adalah penata rambut yang waktu itu melayani bibiku! Katanya sewaktu ia hendak pulang ke rumah pada hari itu, di tengah jalan ia tertabrak oleh seorang pengendara motor ugal-ugalan sehingga tubuhnya terpental ke aspal dan kepalanya terbentur keras sehingga darah mengucur dari wajahnya. Orang-orang segera membawanya ke rumah sakit terdekat, tetapi ia meninggal dunia dalam perjalanan karena luka-lukanya sangat parah dan ia mengalami pendarahan hebat di kepalanya.

Aku tertegun.

Mendadak aku teringat penglihatan yang kualami waktu itu. Apakah itu merupakan firasat akan terjadinya sesuatu? Aku berusaha melupakan peristiwa tersebut dan kuanggap hal itu sebagai suatu kebetulan belaka. Sampai beberapa bulan kemudian....

*****

Hari sudah siang ketika aku dan Irene, teman sekelasku, pulang dari sekolah. Rumah kami berdekatan, sehingga hampir setiap hari kami pergi dan pulang sekolah bersama-sama. Dalam perjalanan pulang kami memutuskan untuk mampir ke mal terdekat untuk membeli beberapa perlengkapan sekolah.

Sewaktu kami melewati sebuah butik pakaian, secara kebetulan aku menoleh ke arah kaca etalase. Dan napasku tersentak. Aku dapat melihat bayanganku sendiri di kaca itu, tetapi di sampingku bukan bayangan Irene, melainkan ayahnya. Ia terlihat pucat dan sedih.

Jantungku berdegup keras. Aku teringat kembali peristiwa yang kualami beberapa bulan sebelumnya bersama bibiku. Aku tak tahu apakah hal yang sama akan terulang lagi. Aku tak berani mengucapkan sepatah kata pun tentang hal itu padanya. Aku tak ingin ia sedih memikirkan hal-hal yang belum tentu akan terjadi.

Malam itu aku baru saja akan pergi tidur ketika tiba-tiba telepon berdering. Ketika kuangkat, terdengar suara Irene. Ia tersedu-sedu. Aku langsung merasakan firasat buruk. Di sela isak tangisnya, ia berkata terbata-bata,

"Phrai, ayahku ..." ia tak dapat melanjutkan kalimatnya. Ia hanya terisak pelan.

"Ada apa dengan ayahmu? Apa yang terjadi?" Mendadak aku merasa gugup dan tegang. Tanganku gemetaran. Pikiranku benar-benar kalut. Apakah ini…?

Tidak mungkin! Jangan!

Belum sempat aku berpikir lebih jauh, isakan Irene kembali terdengar.

"Ayahku tak sadarkan diri. Beberapa saat yang lalu ia mendapat serangan jantung. Kini ia sedang dalam perjalanan ke rumah sakit."

Aku tersentak kaget. Seketika tubuhku lunglai dan jantungku berdegup tak karuan. Oh Tuhan, jangan biarkan firasatku menjadi kenyataan,, doaku dalam hati.

"Irene, kita berdoa saja, semoga beliau tidak apa-apa," kataku sambil menarik napas panjang.

"Suster yang merawat ayahku mengatakan bahwa ayahku dalam kondisi kritis karena ia terlambat diberikan pertolongan," Irene berkata lirih sambil terisak-isak.

Aku tak bisa mengatakan apa-apa lagi selain menghibur sahabatku itu. Malam harinya aku berdoa semoga firasatku meleset dan segalanya akan baik-baik saja. Aku sungguh-sungguh berusaha menghibur diriku sendiri bahwa apa yang kulihat waktu itu di kaca etalase toko bersama Irene adalah halusinasiku saja dan tidak ada sangkut pautnya dengan apa yang telah terjadi pada ayah Irene. Tetapi semakin aku berusaha meyakinkan diriku sendiri, semakin besar keraguan yang tumbuh jauh di lubuk hatiku bahwa apa yang kualami sebelumnya tidak akan terulang kembali.

Keesokan harinya aku kembali mendapat kabar dari Irene. ia mengabarkan bahwa ayahnya telah meninggal dunia malam itu juga. Aku sangat sedih mendengarnya. Terlebih-lebih karena aku telah mendapat pertanda tentang hal itu sebelumnya namun tak ada yang dapat kulakukan untuk mencegah musibah itu. Apakah ini suratan takdir? Jika ya, apa gunanya aku mendapatkan firasat itu jika aku sendiri tak dapat melakukan apa-apa untuk mencegahnya? Mengapa? Mengapa? Beribu tanda tanya berkecamuk dalam benakku, namun aku sungguh tak kuasa untuk menjawab semua pertanyaan itu. Semua peristiwa ini benar-benar membuatku stres!

Semenjak kedua peristiwa itu, aku masih mendapat penglihatan-penglihatan lain yang sering kali membuatku dibayangi perasaan bersalah, sedih, dan takut. Tak jarang aku melihat bayangan-bayangan menyeramkan dari orang-orang di sekililingku yang tak kukenal. Entah itu bayangan pedagang sayur yang kebetulan lewat di dekatku, atau bahkan seekor kucing liar yang melintas di hadapanku. Semua bayangan mereka sungguh membuatku merana!

Aku hanya bertanya-tanya, kapan kiranya, suatu hari nanti, aku akan melihat bayangan kematianku sendiri. Apakah hari ini? Besok? Lusa? Ataukah tahun depan? Atau bahkan sesaat lagi?

Aku hanya berharap semoga aku siap menghadapi hari itu.

Hari ketika bayanganku menjadi kenyataanku…